Kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik (parpol) di legislatif dan eksekutif, berpotensi menggerus suara pemilih. Karenanya, parpol perlu melakukan refleksi secara menyeluruh.
“Korupsi masih jadi musuh utama publik. Masih jadi salah satu acuan publik memilih atau tidak memilih partai atau kandidat tertentu,” kata Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes kepada SP, Sabtu (7/10).
Seperti diketahui, sejumlah kader parpol yang menjabat kepala daerah tersandung kasus korupsi melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Jumat (6/10), KPK juga menangkap Anggota DPR serta Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara (Sulut).
“Sekali lagi, persoalan korupsi memang masih salah satu isu yang menjadi perhatian publik, apalagi dengan maraknya OTT. Partai-partai yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi saya kira masih akan menjadi salah satu yang dipertimbangkan publik,” ujar Arya.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Golkar Bidang Pemenangan Pemilu Indonesia I, Bobby Adhitio Rizaldi mengungkapkan, menurunnya angka elektoral partai-partai tentu dipengaruhi kasus korupsi.
“Kerja partai untuk meningkatkan elektabilitas memang sangat berpengaruh terhadap hal-hal yang sifatnya seperti OTT atau pelanggaran-pelanggaran tersebut,” ungkap Bobby seusai acara diskusi di Jakarta, Sabtu (6/10).
Dalam hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), elektabilitas Golkar berada di peringkat dua di bawah PDI Perjuangan. Namun, angka elektabilitas sebesar 11,4 persen, menurun jika dibandingkan pada 2016 yang mencapai 14 persen. “Efek (OTT dan korupsi) itu ada, tapi alhamdulillah kami masih bertahan,” ujar Bobby.
Dia menambahkan, Golkar kini tengah menyisir para kader yang benar-benar berintegritas dan berkapasitas. Dengan begitu diharapkan, citra partai berlambang pohon beringin menjadi lebih baik.
Sementara itu, Direktur Populi Center Usep S Ahyar mengatakan, merit system sejatinya harus diutamakan oleh parpol. Kader-kader berkinerja bagus, mempunyai kompetensi dan profesionalitas, sepatutnya menguasai parpol. Namun, lanjutnya, secara realitas hal itu masih jauh dari harapan.
Artinya, hanya kader yang memiliki koneksi kuat dan berpatron pada elite justru mendapat tempat di parpol. Akhirnya, dalam konteks berbangsa dan bernegara, menimbulkan kekacauan. “Bicara masalah-masalah kebangsaan yang memerlukan keahlian tertentu jadi asal-asalan, bahkan ada juga yang cenderung korup,” ucap Usep.
Usep mengungkapkan, terdapat tiga hal yang harus diperbaiki secara menyeluruh mengenai kepartaian. Pertama, sistem kepartaian. Dijelaskan, pengkaderan harus mengutamakan orang-orang baik. Kedua, aktor atau pelaku politik. Kader-kader parpol yang ada, wajib memegang teguh ideologi partainya.
Ketiga, budaya politik di masyarakat. Publik perlu diberikan pendidikan bahwa parpol mempunyai peran penting untuk negara. “Kalau tiga hal ini tidak diperbaiki, hanya salah satu saja, ya partai ke depan kurang bisa diharapkan,” tandasnya.
Copyright 2013 @ Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politk - Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia