Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Penyelenggaraan Pemilu mendesak DPR dan pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik. Pasalnya, RUU ini sangat penting karena akan menjadi fondasi hukum untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan secara serentak untuk pertama kali.
"Kami meminta keterbukaan proses pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu oleh pembentuk undang-undang dan perlu melibatkan partisipasi publik," ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, di Jakarta, Kamis (22/12).
Koalisi masyarakat sipil, kata Titi, berkomitmen akan mengawal proses pembahasan RUU ini dari awal hingga tuntas. Selain itu, lanjut dia, Koalisi juga akan senantiasa memberikan masukan dan rekomendasi dari sekian isu yang akan dibahas di dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu.
"Karena itu, perlu komitmen pembuat Undang-undang (UU) untuk membahas RUU ini secara partisipatif dan terbuka," imbuh dia.
Titi mengatakan, tantangan dalam menyusun RUU Pemilu tentunya tidaklah mudah. Apalagi, kata dia, ditengah banyaknya isu dan persoalan yang mesti dituntaskan di dalam menyusun RUU ini, para pembentuk UU dihadapkan pada sisa waktu pembahasan yang sangat singkat.
"Jika merujuk pengalaman Pemilu 2014, dan merujuk ketentuan yang disusun oleh Pemerintah di dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu yang sedang dibahas, tahapan Pemilu 2019 mesti sudah dimulai pada Juni 2017. Keharusan ini berangkat dari adanya ketentuan bahwa tahapan pemilu selambat-lambatnya dimulai 22 bulan sebelum hari pemungutan suara," terang dia.
Hitungan waktu ini, kata Titi, dikedepankan dengan asumsi bahwa pemungutan suara Pemilu 2019 akan dilaksanakan pada bulan April 2019, bulan yang sama dengan pelaksanaan pemungutan suara Pemilu 2014.
Oleh sebab itu, lanjutnya, pembentuk undang-undang mesti punya strategi yang jitu dan skala prioritas yang terukur untuk bisa menyelesaikan RUU Penyelenggaraan Pemilu ini tepat waktu.
"Keharusan untuk menyelesaiakan RUU di dalam waktu yang cepat, tentu juga bukan menjadi alasan hasil RUU Penyelenggaraan Pemilu menjadi cacat substansi," tandas dia.
Karena itu, Titi menganjurkan pembentuk undang-undang mesti realistis. Pendekatan pembahasan mesti dimulai dengan penyesuaian ketentuan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pemilu yang akan dilaksanakan serentak.
"Kemudian, proses pembahasan juga mesti berpijak pada seluruh poin evaluasi pengalaman Pemilu 2014 dan Pilkada 2015," pungkasnya.
sumber : beritasatu.com
Copyright 2013 @ Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politk - Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia