Salah satu isu krusial mengenai sistem pemilu yang akan dikembalikan sistem lama dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup pada Pemilu 2019, dengan sistem tersebut rakyat tidak lagi memilih caleg, tetapi memilih partai politik.
Menanggapi hal tersebut, pakar politik dan pemerintahan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof Kautsar Baylusi, mengatakan, keinginan untuk mengembalikan sistem Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dari proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup dinilai sebagai suatu keinginan yang mundur dalam berdemokrasi. Seharusnya sistem yang ada tidak perlu diubah, namun diperlukan penyempurnaan terhadap sistem tersebut.
"Keinginan seperti itu akan membawa kemunduran berdemokrasi di tanah air dan sangat berpotensi menimbulkan konflik internal dan eksternal partai. Sebaiknya, sistem pemilu yang selama ini sudah dijalankan lebih disempurnakan, jangan asal main ganti setiap menjelang pemilu," kata Prof Kautsar, di Makassar, Rabu (20/7).
Sistem proporsional tertutup, kata dia, berpotensi korupsi. "Selain itu, akan merajalela praktik mahar caleg karena mereka berlomba menyetor uang ke parpol agar mendapatkan nomor urut kecil sehingga menjamin lolos ke parlemen," kata Prof Kautsar.
Menurutnya, sistem proporsional tertutup bisa saja dilakukan oleh Indonesia jika semua parpol sudah tumbuh dewasa dan matang. "Sehingga, konflik soal nomor rendah yang biasa dijuluki nomor songkok dan nomor tinggi atau nomor sepatu dapat diatasi," tambahnya.
sumber : beritasatu.com
Copyright 2013 @ Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politk - Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia